-->

Iklan

Iklan

PILKADA, KEWENANGAN SETENGAH HATI, DAN DEMOKRATIS YANG HANYA MIMPI

NEWSPORTAL.ID
Rabu, 08 Februari 2017, Februari 08, 2017 WIB Last Updated 2017-11-07T14:37:19Z
Oleh : Dony Yusra Pebrianto, SH, MH

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tinggal menghitung hari. Sederet harapan terhadap demokratisnya penyelenggaraan proses demokrasi tersebut tentunya menjadi harapan besar yang tertanam dalam lubuk hati sanubari terdalam anak bangsa. Menentukan pemimpin untuk 5 (lima) tahun ke depan tidak ayal kerap dikatakan bahwa Pilkada merupakan pertaruhan nasib 5 (lima) tahun ke depan, bahkan jargon ajakan memilihpun kerap menggunakan kalimat 5 menit di bilik suara menentukan nasib 5 tahun ke depan. Tapi apa daya, sederet hambatan dan fakta nyata di depan mata seolah berkata demokrasi yang demokratis terkadang hanya mimpi di alam nyata.

Kewenangan Yang Setengah Hati

Sudah barang tentu Pengawas Pemilu dan jajaran menjadi salah satu tolak tumpu demokratisnya penyelenggaraan demokrasi. Betapa tidak, tidak ada satupun lembaga di Negara ini yang dibentuk oleh Undang-Undang yang diberi amanah untuk melakukan sosialisasi, pengawasan dan penindakan terhadap dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan Pilkada, kecuali lembaga yang bernama pengawas pemilu dalam semua tingkatan yang bersifat mandiri dan kolektif kolegial.

Sejuta harapan bergantung kepada peniup peluit Pilkada ini, dan tentunya keberanian bertindak atas dasar keberanian dan penegakan demokrasi yang demokratis disandang oleh lembaga yang menjadi tumpuan harapan ini. Namun sejauh ini apa daya, ada kewenangan setengah hati dan demokrasi yang terkadang tersakiti.

Kewenangan Pengawas Pemilu dalam melakukan pengawasan dan penindakan dugaan pelanggaran sebagaimana amanah undang-undang betul-betul setengah hati setidaknya sampai “hari ini”. Seolah salah belanja ataupun salah membeli, uang Negara baik yang bersumber dari APBN, APBD, maupun Hibah Daerah seolah tidak terbelanjakan dengan tepat untuk mengurusi demokrasi. Lawrence M Friedman dan Soerjono Soekanto setidaknya menyebutkan beberapa hal penentu penegakan hukum berjalan atau tidaknya, struktur hukum, substansi hukum, budaya hukum, dan sarana prasarana.

Memang merupakan fakta, bahwa peranti hukum telah disiapkan sebagai penopang pengawas pemilu ini, tapi patut diakui bahwa sampai hari ini tidak satupun peranti hukum buatan manusia yang sempurna yang dalam arti lain tidak memiliki kelemahan di sana sini, begitu pula peranti hukum kepemiluan khususnya Pilkada. Kekosongan hukum, kekaburan norma, konflik norma ataupun contradictio interminis  dalam regulasinya sangat kerap tampak menjadi batu sandungan. Sehingga terkadang muncul istilah “apa daya, kewenangan terbatas”. Agaknya kita harus ingat bahwa istilah penegakan demokrasi bukan hanya “rule of law” tapi juga “rule of ethic”, etika ini bukan hanya etika bagi penyelenggara, tetapi etika demokrasi yang tidak hanya sebatas barisan kata-kata dalam regulasi, tapi demokrasi dalam konteks hati yang harus ditegakkan dengan benar dan keberanian dalam spirit demokratis.

Keberadaan para Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam kesekretariatan yang notabene di tingkat daerah yang hampir sebagian besar bersumber dari ASN Pemerintah Daerah membuat independensi yang semakin samar-samar. Betapa tidak, keberadaan intervensi yang tidak terhindarkan bisa saja membuat independensi ASN di dalam tubuh pengawas pemilu dalam proses Pilkada ini patut untuk dikhawatirkan, spirit mandiri perlu untuk dikedepankan, sehingga perlu suatu formulasi ASN di tubuh pengawas pemilu yang mandiri bebas dari upaya intervensi dalam Pilkada dalam rangka menjaga netralitas penyelenggara, agaknya se Republik ini tidak akan rela jika garda Pilkada hanya menjadi pemuas order belaka.

Lebih lanjut, agaknya harus meninggalkan cara “kuno” dalam tubuh penegakan demokrasi yang demokratis. Setidaknya Penulis hendak mengatakan penegakan demokrasi yang demokratis “tidak cukup” dengan Rakor, Raker, atau apalah itu namanya. Bukan berarti dalam hal ini Penulis mengatakan hal semacam itu tidak perlu, hanya saja Penulis hendak menyampaikan bahwa jangan sampai anggaran yang disediakan justru hanya “habis” untuk plesiran dan kegiatan yang minim hasil. Agaknya punggawa Republik ini dan khususnya dalam penyelenggara Pemilu setidaknya “pernah” dulu berkomentar dari gaya plesiran pejabat Negara dengan dalih koordinasi dan bimbingan teknis, jangan sampai justru melakukan hal yang sama, bak menepuk air di dulang. Perlu dicermati, penegakan hukum edukasinya tidak cukup sehari ataupun dua hari, butuh waktu panjang, oleh karena itu perlu orang-orang yang betul-betul berpengalaman dalam rangka penghematan anggaran dan tepat guna.

Demokratis Yang Hanya Mimpi

Dengan segala hambatan, keberanian pengawas Pemilu untuk bertindak atas nama kebijakan untuk tujuan demokrasi yang demokratis dihadapkan dengan bayang-bayang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang seolah menjadi lembaga Negara yang Super Power. Betapa tidak, tidak jarang DKPP terlalu menafsirkan etika dengan definisi yang teramat luas sehingga mengabaikan nilai diskresi. Hal ini perlu untuk dicermati, dikarenakan lemahnya dasar hukum dalam menunjang pencapaian demokrasi dan demokratis tidak jarang pengawas pemilu harus menggunakan kewenangan diskresi guna tetap menjaga nilai dan semangat demokrasi itu sendiri.

Padahal jika kita menelisik amanah konstitusi bahwa Pilkada disselenggaran secara demokratis, dengan kata lain materiil demokratis ini adalah inti dari penyelenggaraan proses demokrasi, dengan kata lain jika masih penuh dengan kecacatan demokrasi dengan sederet pelanggaran baik secara normative atau etika tidak dapat terselesaikan, maka pantaslah disebut demokrasi ini gagal total. Namun bayang-bayang tetaplah bayang-bayang, diskresi tidak kunjung berani digunakan. Sehingga semua “terkadang” bermain aman, terlepas demokratis tidaknya demokrasi, yang terpenting aman dari jeratan DKPP hingga akhir masa jabatan. Miris, di saat demokrasi kian menuai empati, justru demokratis yang kian bermimpi.

*Penulis adalah Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Jambi. Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi PW Pemuda Muhammadiyah Provinsi Jambi.



Komentar

Tampilkan

Terkini