-->

Iklan

Iklan

MEMPERKECIL PENJARA

NEWSPORTAL.ID
Sabtu, 04 Maret 2017, Maret 04, 2017 WIB Last Updated 2017-11-07T14:37:18Z
Oleh: Bahren Nurdin, MA

Ketika pecah kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Jambi beberapa hari lalu, semua orang sibuk membicarakan kapasitas penjara tersebut. Lucunya, semua orang seakan sepakat bahwa penjara tersebut harus ‘dimekarkan’ karena sudah over-capacity (kelebihan muatan). Saya katakan, ini pemikiran sesat!

Semestinya, bukan penjara yang harus kita perbesar, tapi jumlah orang masuk penjara yang harus dikurangi!

Saya tidak habis pikir mengapa orang-orang sampai berpikir memperbesar penjara. Saya tidak tahu, atau saya yang sesat? Atau saya terlalu anti-mindstream? Beginilah, ada seloko adat Jambi yang berbunyi, “Keruh aek dihilir perikso ke ulunyo. Senak aek di ulu perikso ke muaro.” Artinya, kita harus mencari akar masalahnya. Jika air sungai itu keruh di hilir, dapat dipastikan telah terjadi sesuatu di hulu yang menyebabkan air itu keruh. Maka, yang dicari adalah penyebabnya bukan menjernihkan air keruh. Karena, bagaimana pun cara menjernihkan air tersebut, jika sumbernya belum diatasi maka akan tetap keruh.

Dengan analogi inilah saya ingin mengajak kita semua untuk kembali berpikir ‘benar’ tentang penjara. Saya katakan, kita perbesar pun kapasitas penjara saat ini, dia akan tetap penuh dan kurang karena orang yang masuk penjara akan terus bertambah. Perbesar lagi, kurang lagi, dan begitulah seterusnya.

Maka dari itu, memperbesar penjara bukan solusi. Sekali lagi, bukan solusi. Bahkan hal ini boleh jadi  sebagai indikator negeri ini ‘sarang’ penjahat. Saya berani mengatakan, semakin banyak isi penjara, semakin tidak aman suatu negara. Ada yang salah urus. Ada yang tidak beres.

Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa mereka melakukan kejahatan? Tanya satu per satu warga binaan di dalam lapas tersebut. Berapa orang yang menyatakan dengan sadar bercita-cita  ingin menjadi penghuni jeruji besi tersebut? Kalau pun ada pasti sedikit sekali. Selebihnya? Dampak dari kelalaian negara menjadikan mereka rakyat yang baik.

Bagaimana bisa begitu? Yang paling kasat mata, lihat saja oknum-oknum penegak hukum ‘bersandiwara’. Mafia hukum merajalela. Petugas lapas ‘nyambi’ jualan narkoba. Jaksa jadi makelar perkara. Polisi pandai ‘bermain’ mata. Pemimpin sibuk tebar citra. ASN malas dalam bekerja. Tidak semua, tapi ada. Maka rakyat lebih suka murka dan mencari jalan ke penjara; juga neraka! Harapan hidup mereka terjarah penguasa!

Perhatikan data berikut ini. Pada tahun 2016 silam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis daftar nama-nama negara paling bahagia di dunia dan menempatkan Denmark sebagai sang juara. Denmark-lah negara terbahagia, terlayak hidup, ternyaman, dan ter yang linnya di dunia. Lalu, di mana posisi Indonesia? Dalam daftar ini, Indonesia menduduki peringkat ke-79, di bawah Malaysia (49), Thailand (33), dan Singapura (22) (www.kompas.com). Mengapa? Karena negara kita  masih sibuk memperbesar penjara ketimbang mempertinggi harapan hidup masyarakatnya.

Akhirnya, bolehkah kita bermimpi menjadikan Lapas Kelas IIA Jambi menjadi hotel berbintang seperti Hotel Den Gamle Arrest di Kota Ribe, Denmark? Sebuah hotel mewah bekas penjara. Bukan relokasi, tapi karena memang sudah tidak ada yang suka penjara. Rubah pola pikir kita sekarang. Sekali lagi, bukan memperluas penjara tapi memperkecil, bahkan menghilangkan penjara di negari ini. Harus jadi mimpi kita bersama. Amin. #BNODOC6204032017

*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Komentar

Tampilkan

Terkini