-->

Iklan

Iklan

Perjuangan Sultan Thaha Ditengah Politik Bayangan Belanda

Redaksi
Sabtu, 17 Maret 2018, Maret 17, 2018 WIB Last Updated 2018-04-07T16:55:06Z
Vermoedelijk resident H.L.C. Petri van Djambi (4e v.r.) aan tafel met bestuursambtenaren Date Circa 1910 
NEWSPORTAL.ID - Belanda khawatir berhubung diterimanya kabar Sultan Thaha berusaha mengadakan hubungan dan meminta bantuan kepada Turki, Walaupun belanda yakin permintaan Sultan itu tak akan berhasil karena mengingat posisi Turki yang waktu itu sebagai ‘the sick men’. Namun usaha Sultan mengadakan hubungan dengan luar negeri bukan suatu hal yang tak mungkin sebab hubungan dengan Inggris dan Amerika dikala itu selalu mengacaukan kedudukan belanda.

Pemerintah belanda kemudian marah dan memutuskan satu penyelesaian dengan paksaaan disertai tindakan dengan ketentuan sbb : (1) Pasukan belanda dikirim ke jambi, (2) Sultan diberi kesempatan berpikir 2x24 jam untuk perjanjian baru, (3) Jika Sultan Jambi tidak menyetujui perjanjian itu maka baginda akan diturunkan dari tahta kerajaan dan akan diganti oleh sseorang sultan yang bersedia menyetuji perjanjian.

(4) Jika sultan jambi tidak menyetujui perjanjian mungkin baginda akan di asingkan ke batavia dan (5) Sultan jambi diwajibkan mengirim utusan untuk memberi tanda kehormatan kepada gubernur jenderal di batavia.

Keputusan pemerintah belanda ini dilaksanakan dan terjadi pada september 1858 diiringi pasukan infanteri belanda dengan pimpinan Mayor Van Langen di Muaro Kumpeh serta beberapa kapal angkatan lautnya.

Menyusun Pemerintahan Baru

Menghadapi tindakan kekerasan yang digunakan belanda Sultan Thaha sudah mmpersiapkan segala sesuatunya.

Hal ini bersamaan pula dengan nasehat dari Pangeran Tumenggung Mangku Negara dari Bangko yang sengaja mengirimkan utusan ke jambi dan minta kepada Sultan agar jangan  menerima perjanjian baru dan kalaupun terpaksa maka segera mengungsi ke Muarao Tembesi sembari membawa barang berharga kerajaan untuk dipindah ke Muaro Tembesi.

Karena ultimatum belanda tidak dijawab dan diindahkan Sultan Thaha, Maka pada tanggal 25 september 1858 belanda resmi mengumumkan tidak mengakui lagi daulat Sultan Thaha atas kerajaan jambi dan menganggap dirinya sudah diturunkan dari tahta kerajaan.

Serentak dengan pengumuman itu belanda kemudian melakukan serangam terhadap keraton Sultan Thaha dengan pasukan darat dan lautnya sehingga terjadi pertempuran hebat di tanah pilih.

Belanda berhasil menduduki keraton tapi keraton telah kosong karena Sultan Thaha dengan stafnya telah dahulu menyelamatkan diri ke Muaro Tembesi.

Di Muaro Tembesi yang merupakan kedudukan baru bagi Sultan Thaha segera disusun pemerintah baru untuk mewujudkan perlawanan terhadap belanda.

Pangeran Hadi diangkat menjadi kepala bala tentara, Pangeran Singo menjadi kepala pemerintahan sipil dan pangeran lamong menjadi kepala keuangannya. Begitu juga segala priyayi yang duabelas yang ada dihuluan disusun pula tugasnya masing-masing.

Politik Adu Domba

Untuk menghadapi perlawanan Sultan belanda kembali menggunakan politik adu dombanya. Oleh belanda dicarilah keluarga Sultan Thaha yang mau diangkat sebagai Sultan Jambi yang tentu dengan syarat tunduk dan mentaati perjanjian dengan mereka.

Mula-mula ditawarkan kepada pangeran ratu yang waktu pertempuran tidak sempat mengungsi tetapi tawaran tersebut ditolak karena telah mengetahui niat jahat belanda.

Namun, Pada tanggal 2 Nopember 1858, Pemerintah belanda mengangkat paman Sultan Thaha bernama Panembahan Prabu menjadi Sultan jambi dengan gelar Sultan Ahmad Nazarudin, sedangkan pangeran ratu ninggrat diangkat menjadi pangeran satu lagi.

Pada hari pengangkatan Sultan itulah dibuat perjanjian baru dan ditanda-tangani oleh Sultan Ahmad Nazarudin seperti yang dikehendaki oleh belanda.

Surat perjanjian baru ini diperkuat oleh piagam gubernur belanda di batavia dengan isi perjanjian (1) Negara jambi adalah sebahagian daripada jajahan belanda di hindia timur dan jambi berada dibawah kekuasaan negeri belanda (2) Negeri jambi hanya di pinjamkan kepada Sultan Jambi yang harus bersikap menurut dan setia serta menghormati pemerintahan belanda.

(3) Pemerintahan belada berhak memungut cukai pengangkutan barang masuk dan keluar negeri jambi (4) Kepada Sultan dan Pangeran ratu diberi uang tahunan sejumlah P.10.000, jumlah mungkin diperbesar jika penghasilan cukai pengangkutan bertambah (5) Segala perjanjian tahun 1834 tetap berlaku apabila tidak digugurkan atau berlawanan dengan surat perjanjian ini.

(6) Sultan dan pengeran ratu harus mengirimkan utusan untuk menghormati gubernur jenderal di batavia bila dianggap perlu oleh pemerintahan belanda (7) Batas-batas negeri jambi akan ditetapkan oleh pemerintahan belanda dalam piagam lain.

Dengan penobatan Sultan Ahmad Nazarudin ini oleh belanda menjadi Sultan Jambi maka timbulah perselisihan kekuasaan kesultanan di negeri jambi.

Rakyat memilih setia

Sikap rakyat jambi cukup tegas yakni tetap mengakui Sultan Thaha sebagai sultan yang sah dan akan membantu perjuangannya, Hal ini karena Sultan Thaha memegang tanda-tanda kebesaran dan alat-alat upacara kerajaan antara lain keris Siginjai yang termansur dan lambang kerajaan jambi.

Oleh keluarga kerajaan ditetapkan bahwa sebagai negeri jambi tetap dibawah kekuasaan Sultan Thaha begitu juga daerah huluan serta Tungkal mengakui Sultan Thaha.

Untuk meningkatkan perlawanannya terhadap belanda Sultan Thaha kemudian merasa perlu memindahkan pusat pemerintahannya dari Muaro Tembesi ke suatu tempat yang agak jauh dari kekuasaan belanda.

Sultan Thaha kemudian membuat istana baru di Sungai Aro, disebelah ulu Teluk Rendah, begitu juga saudaranya membuat pertahanan di daerah huluan yang mereka kuasai.

Upaya memperoleh senjata

Sultan Thaha mnyadarai bahwa perjuangan melawan belanda tidak ada artinya apabila rakyat jambi tidak mempunyai senjata yang memadai.

Satu-satunya jalan untuk memperoleh senjata tentu melakukan hubungan dengan luar negeri yang bersedia menjual senjata. Untuk ini Sultan kemudian berhubungan dengan Inggris dan Amerika dengan jalan mempertukarkan emas, hasil bumi, hasil hutan yang mana Sultan kemudian berhasil memperoleh senjata dari Inggris.

Melalui Kuala Tungkal, Siak indragiri bahkan juga melalui Bengkulu, senjata inggris dimasukan ke negeri jambi.

Disamping itu oleh sultan diusahakan pula untuk dapat membuat sendiri alat-alat mesiu guna menghadapi blokade belanda yang begitu ketat terhadap jambi.

Kembali tawarkan posisi

Dalam menghadapi perlawanan Sultan yang tidak mengenal menyerah ini, Selanjutnya pemerintah belanda menetapkan konsep perjanjian baru di tahun 1882 dengan isi sbb :

Jika sultan thaha menyerahkan diri kepada pemerintahan belanda dan mengakui Sultan Muhamad Mahiluddin yang diangkat oleh belanda serta surat perjanjiannya maka: Sultan Thaha diangkat sebagai pembesar negeri, berhak menerima uang tahunan dari pemerintah belanda dan diberi penggantian kerugian sebesar F.500 sebulan.

Namun tawaran dan ajakan belanda tidak digubris sedikitpun oleh Sultan Thaha karena dirinya tidak berniat sedikitpun menyerahkan diri kepada belanda.

Sejak peristiwa itu perjuangan rakyat jambi makin bertambah hebat dan pada tahun 1885 terjadi dua peristiwa yang sangat memusingkan belanda.

Pertama, pembunuhan terhadap 2 orang belanda di balai pertemuan jambi yang mana sebagai penganjur pembunuhan itu adalah Raden Anom yang kemudian dapat pula melarikan beberapa senjata belanda.

Kemudian dengan senjata yang dimilikinya itu Raden Anom dengan 300 orang pengikutnya melakukan penyerangan terhadap benteng belanda di jambi.

Pada tahun 1890 belanda di Sarolangun Rawas diserang pula oleh Haji Kedemang Rantau Panjang yang dibantu oleh hulu balangnya antara lain : Depati Setiraja Lubuk Gaung, Depati Setio Beti Tabir Bangko, Nalo, Depati Setia Nyata Talang Renah dan lain-lain. Kemudian pada tahun 1895 terjadi pula penyerangan dari Merangin dan Batang Asai.

Dengan adanya serangan yang terus menerus dari rakyat jambi maka belanda mencoba memperkuat kedudukannya serta mengefektifkan kekuatan menghadapi Sultan Thaha dengan beberapa keputusan antara lain :

Untuk mewujudkan semangat juang rakyat jambi maka Sultan yang diangkat belanda diberikan pula keris Singa Marjaya,  Kemudian daerah jambi diserahkan kekuasaannya kepada residen palembang dengan ketentuan supaya ditaklukkan seluruhnya.

Pangeran dan Panglima berkumpul 

Menyikapi itu Sultan Thaha kemudian mengadakan musyawarah di Bukit Pesajian Rajo di Muaro Tebo. Menghadapi tindakan belanda Sultan tak tinggal diam dan berusaha mengumpulkan semua kekuataan rakyat. Dibukit ini, oleh Sultan dikumpulkan semua pangeran-pangeran dan panglima-panglima untuk mengadakan musyawarah.

Musyawarah tersebut menghasilkan beberapa keputusan penting antara lain mengadakan persiapan barang makanan yang cukup, Tidak akan berhianat kepada teman seperjuangan maupun kepada negeri, Tidak akan menyerah kepada belanda dan serangan ke belanda tidak perlu menunggu komando lagi dan buatlah benteng pertahanan dimana-mana.

Dari hasil musyawarah ini maka terjadilah perlawanan umum rakyat jambi terhadap belanda dimana-mana dan dalam perlawanan ini tercatat beberapa benteng rakyat yang termansyur yakni Benteng singkut, Benteng pelawan, Benteng tanjung, Limbur merangin, Benteng pelayang, Benteng sekancing, Benteng limbur tembesi, Benteng datuk nan tigo, Benteng koto rayo, Benteng sungai manau, Benteng sungai alai dan Benteng muara siau. Selanjutnya masih banyak benteng perlawanan rakyat yang tersebar di dusun-dusun.

Pada tahun 1898 dalam menghadapi perlawanan umum rakyat jambi ini pihak belanda juga mengadakan penyerangan terhadap benteng rakyat dari semua penjuru dengan maksud langsung memblokade jambi dari hubungannya dengan luar.

Jalur penyerangan yang dilakukan belanda tercatat dari palembang lewat bayung lincir ke tembesi, Dari sarolangun rawas ke batin pengambang dan sarolangun, Dari muaro tembesi ke merangin bangko, Dari jambi ke mauro tebo dan tabir, Dari sijunjung ke sungai limau dan pelayang tebo, serta Dari kuala jambi ke tungkal.

Perlawanan rakyat jambi terhadap serangan umum belanda ini tercatat beberapa pimpinan yang terkenal yakni Panglima Depati pandan yang mempertahankan benteng tanjung gagak, Pangeran puspo yang mempertahankan benteng pengantung, Pangeran Haji umar dan Raden Hamzah yang mempertahan benteng Limbur Tebo yang diketehui baru jatuh ketangan belanda pada tahun 1903, Panglima Tapis dan Depati Benteng Rimbo yang kemudian jatuh ketangan belanda pada tahun 1904.

Sultan Thaha Gugur Di Talang

Dengan persenjataan yang lengkap dan politik adu domba belanda satu persatu benteng perlawanan rakyat akhirnya berhasil dijatuhkan belanda. Begitu juga satu demi satu panglima atau tokoh perjuangan gugur dan tertangkap.

Akhirnya dalam suatu serbuan yang tiba-tiba pada suatu pagi subuh ditahun 1904 pasukan belanda menyergap pasukan Sultan Thaha disebuah talang di didusun Betung Bedarah.

Dalam penyerangan belanda ini Sultan Thaha dengan pengikutnya melakukan perlawanan sangat sengit namun karena kekuatan tidak seimbang Sultan Thaha akhirnya gugur.

Sultan Thaha tercatat sebagai Sultan jambi yang paling gigih melakukan perlawanan dan tak mau tunduk terhadap belanda hampir seluruh masa hidupnya (50 tahun). Ia kemudian dimakamkan di Muaro Tebo.

Walaupun Sultan Thaha telah tiada namun perlawanan rakyat jambi masih terus berlangsung dibawah pimpinan panglima yang tidak tertangkap oleh belanda.

Pimpinan selanjutnya dikenal dengan Mat. Thaher, Seorang Panglima Sultan Thaha yang paling ditakuti sebab sering terlibat dalam memimpin pertempuran yang kemudian dikenal dengan julukan Singo Kumpeh. Selain itu ada Depati Mat Dewa, Panglima Abdul Hadi, Depati Hamid dan Panglima Kedemang Ali.

Sumber : Dokumen Monografi Daerah Jambi yang diterbitkan oleh Proyek pengembangan media kebudayaan Direktorat jenderal kebudayaan Departemen pendidikan dan kebudayaan RI, Jakarta 1976 (Hal 15-17)

Komentar

Tampilkan

Terkini