Kantor PTPN VI/NET |
NEWSPORTAL.ID - Beberapa pekan terakhir, heboh pemberitaan terkait PT
Perkebunan Nusantara (PTPN) VI, soal diperiksanya sejumlah pimpinan di perusahaan
tersebut oleh kejaksaan tinggi (Kejati) Jambi.
Kejaksaan tengah membidik dugaan kerugian negara hingga ratusan
miliar terkait dengan pembelian dua anak perusahaan yang bernaung di BUMN ini, yaitu
PT Bukit Kausar yang dibeli pada tahun 2000 serta PT Mendahara Jaya Agro
Industri (PT MAJI) yang dibeli pada tahun 2012.
Terkait permasalahan ini, Kejati telah memanggil beberapa pimpinan PT PTPN VI.
Terkait permasalahan ini, Kejati telah memanggil beberapa pimpinan PT PTPN VI.
"Benar
kami sudah dipanggil pihak Kejati untuk dimintai keterangan. Namun mengingat
saya belum punya kebijakan apapun saat itu ya saya beri keterangan sepanjang
yang saya tahu saja," kata Amin Sembiring, Salah seorang pimpinan PTPN VI ketika dikonfirmasi awak
media.
Terkait
ini, Kejati juga meminta keterangan Kepala Desa Lagan Tengah dan Sungai
Tawar yang menjadi lokasi perkebunan perusahaan tersebut (22/3).
Kasi
Penegakan Hukum (Penkum) Kejati Jambi, Dedi Susanto membenarkan adanya
pemanggilan terhadap para petinggi di PTPN VI ini.
"Namun
ini sifatnya masih dalam tahap pengumpulan bukti-bukti dan keterangan para
saksi. Kita lihat saja nanti bagaimana perkembangannya," kata Dedi Sabtu
(7/4/2018) pada wartawan.
Penyelidikan
kasus ini lanjut Dedi, sedang ditangani oleh tiga jaksa yakni Edi Iskandar,
Heru Widjatmiko, dan Yuda Diliansyah.
Konflik
lahan
Selain persoalan diatas ternyata PTPN VI berkonflik
dengan masyarakat atau kelompok tani diantara dengan koptan Karya
Mandiri yang diketuai Puji Siswanto.
Lantaran perusahaan (PT MAJI) menyerobot lahan sekitar
78 hektar diluar peruntukan Hak Guna Usaha Nomor
6 Tahun 2012 seluas 3.231 hektar.
Hingga kini konflik masih berlangsung padahal sebelumnya ada kesepakatan antara kelompok Tani dengan GM PT MAJI untuk mengembalikan
lahan kepada Pemda setempat/Kelompok Tani.
“Kesepakatan
itukan dibuat pada Oktober 2017. Menurut laporan dari perusahaan pada Desember
kemarin tanaman sawit yang sudah disuntik atau dibunuh sekitar 5.806
pohon dan masih bersisa 1.917 pohon lagi”ujar Puji memaparkan.
“Kesepakatan itu sudah 7 bulan berjalan namun sampai
sekarang lahan belum dikembalikan”ungkapnya.
Arsad, GM Perusahaan yang bertanda tangan di kesepakatan
itu, lanjut Puji, Justru dipindahkan ke Sarolangun sehingga rantai komitmen itu
jadi menggantung.
“Gimana kita mau tanya jika mata rantai itu diputus atau
dipindahkan, inilah kenyatannya, sedang pejabat baru yang mengantikan waktu dikonfirmasi
katanya belum ada, jadi yang seperti ini maksudnya apa”ujarnya menambahkan.
Potensi
Kerugian
Coba bayangkan sendiri! Perusahaan menyerobot lahan diluar
izin seluas 78 hektar lalu menarik hasil dari kebun sawit diatasnya hingga sekian lama.
“Coba dilakukan audit. Berapa hasil perolehan pendapatan
yang mereka terima yang bukan berdasarkan izinnya, Lalu tambah
dengan kerugian petani yang selama ini lahannya diserobot, itulah nilai
kerugian negaranya atau nilai yang harusnya dikembalikan PT MAJI kepada negara dan
petani?”ujar ketua kelompok tani Karya Mandiri Puji Siswanto, kembali memaparkan.
Jika saja modal untuk membuka kebun sawit di areal gambut
hingga panen, lanjut Puji, membutuhkan modal sekitar Rp50juta/hektarnya kemudian dikali 78 hektar maka akan timbul biaya sebesar Rp3,9 milliar, itu belum
ditambah gaji karyawan, biaya perawatan dan sebagainya, Berapa disitu dugaan kebocoran uang negara yang sudah terjadi selama ini? Tanya Puji.
Ketika kelompok tani melaporkan penyerobotan lahan kepada
penegak hukum, PT MAJI justru membunuh 7000an pohon sawit diatas
lahan tersebut seolah ingin menghilangkan barang bukti atas apa yang telah mereka buat selama ini.
“Makanya KPK harus turun mengusut kasus ini sebab dugaan kebocoran terhadap uang negaranya cukup jelas, terhadap pelanggaran UU (Perkebunan dan Lingkungan
Hidup) selaku koorporasinya juga cukup serius”tandasnya (P03)
Sawit yang disutik pihak PT MAJI |
Swit yang sudah mati akibat disuntik |