Ribuan Petani Tanjab Barat Demo Di Kantor Gubernur (9/5/2018) |
NEWSPORTAL.ID - Pemerintah saat ini telah
menempatkan Reforma Agraria sebagai prioritas nasional, Kebijakan pelaksanaan
Reforma Agraria yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2015 – 2019, dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 79
Tahun 2017 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2018. Tanah seluas 9
juta hektar menjadi objek redistribusi tanah dan legalisasi aset dalam kerangka
kebijakan reforma agraria.
Namun, Reforma
agraria yang digadang-gadang pemerintah nyatanya ditingkat lapangan hanya jalan di
tempat karena dianggap tidak menyasar lokasi yang memiliki ketimpangan agraria
dan konflik yang berkepanjangan sebab yang diklaim pemerintah
saat ini hanya sekedar bagi-bagi sertifikat tanpa merubah ketimpangan penguasaan
tanah yang terjadi.
Demikian
dikatakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jambi melalui rilis resminya (9/5/2018).
Di tengah
mandek dan biasnya pelaksanaaan reforma agraria tersebut, lanjut KPA,
Perampasan dan kriminalisasi petani justru semakin marak.
Dalam tahun 2017 saja KPA mencatat sedikitnya telah terjadi 659 konflik agraria di
berbagai wilayah dan provinsi di tanah air dengan luasan 520.491,87 hektar.
Konflik-konflik
tersebut melibatkan 652.738 Kepala Keluarga (KK) dan jika dibanding tahun
2016 angka tersebut menunjukkan kenaikan yang siginifikan (hingga 50%) yang secara umum jika dirata-ratakan perharinya ada dua
konflik agraria yang terjadi.
Mengenai jumlah korban, Sepanjang
tahun 2017 ada 13 warga yg tewas dan 6 yg tertembak. Kemudian 612 warga tercatat korban kekerasan yg mana dari jumlah
tersebut sebanyak 369 diantaranya malah ditahan (kriminalisasi) yang terdiri dari 351
laki-laki dan 18 orang perempuan serta 224 orang dianiaya (170 laki-laki dan 54
perempuan).
“Semakin
kacaunya situasi agraria secara nasional menjadikan KPA mengkritisi pelaksanaan
Reforma Agraria pemerintah dengan memberikan konsep tanding berupa usulan
Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Sebanyak 404 lokasi seluas 632.595 Ha
dengan 136.833 KK secara resmi kepada suruh Kementerian/Lembaga terkait.
Termasuk di dalamnya LPRA seluas 15.000 hektar dari 20 lokasi se-Provinsi Jambi
yang diusulkan petani di Jambi. Dari banyaknya lokasi yang diusulkan petani itu
hingga saat ini tidak ada satupun lokasi yang terselesaikan
konfliknya.”ujar Frans Dodi, KPA Wilayah Jambi.
Menurutnya,
Salah satu contoh LPRA yang diusulkan untuk wilayah Jambi adalah di Kabupaten
Tanjung Jabung Barat yang tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Sebab, Pada
tahun 2017 Bupati Kabupaten Tanjung Jabung Barat menyampaikan bahwa terdapat SK
Menteri LHK No.727/Menhut-II/2012 jo SK No.690/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2017 yang
menyatakan bahwa dari kedua SK tersebut, tanah seluas 4200 hektar diperuntukkan
kepada Koptan Sawit Ketalu. Padahal lahan tersebut telah digarap oleh petani
desa Sungai Rotan, Sungai Paur, Lampisi dan Cinta Damai dilepaskan dari kawasan
hutan.
Sedangkan
fakta di lapangan lokasi yang dimaksud adalah Desa Definitif berdasarkan Perda
Kab.Tanjung Jabung Barat No. 8 Tahun 2008 jo PerdaNo. 20 Tahun 2011 tentang
pembentukan Desa Sungai Paur dan Desa Tanah Tumbuh,Desa Lampisi, dan Desa Cinta
damai sedangkan Desa Sungai Rotan merupakan kampung tua, Di dalam desa-desa
tersebut sudah terdapat pemukiman, tanah pertanian hingga fasilitas umum dan
sosial.
Permasalahan
selain itu adalah surat keputusan Kepala Dinas Koperasi dan UMKM
Tanjung Jabung Barat Nomor 518/115/Dkukm/2012, Yang menyatakan Koptan Sawit Ketalu merupakan koperasi
yang menyandang status DIBEKUKAN, Artinya koperasi tersebut tidak sah sebagai
subjek hukum penerima tanah pelepasan kawasan hutan.
“Ketika
pemerintah tidak segera melakukan revisi SK Menteri LHK,maka akan menyebabkan
1030 Kepala Keluarga petani kehilangan mata pencarian, 830 Pelajar dipastikan
putus sekolah karena tidak ada biaya, 412 balita tidak bisa mendapatkan gizi
yang baik.”tutur Dodi memaparkan.
Berdasarkan
permasalahan itu lanjut Dodi, KPA Wilayah Jambi ( KPA-Jambi ) beserta Serikat
Petani Bersatu Tanjung Jabung Barat (SPB-Tanjab barat ), Serikat Tani Tebo (STT),
Persatuan Petani Jambi (PPJ) dan Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi(LMND)
menyampaikan 7 tuntutan kepada pemerintah.
1. Pemerintah
Provinsi Jambi segera melaksanakan reforma agraria yang sesuai dengan Sila ke-5
Pancasila, Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, UUPA 1960 dan TAP MPR No.IX Tahun 2001
tentang PA-PSDA, yakni reforma agraria yang bertujuan merombak ketimpangan
struktur agraria, menyelesaikan konflik dan meningkatkan derajat kehidupan
rakyat.
2.
Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat telah melakukan intimidasi dan
kriminalisasi terhadap Pemerintah Desa Sungai Rotan,Desa Lampisi,Desa Cinta
Damai,dan Desa Sungai Rotan dan Serikat Tani yang memperjuangkan Hak Atas
Tanahnya
3. Stop
Monopoli Tanah dan Segera Laksanakan Reforma Agraria Sejati
4. Menteri
KLHK segera merevisi SK. No.690/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2017 agar Peruntukan Lahan
seluas 4200 Hektar dalam SK tersebut menjadi untuk Masyarakat Desa Cinta Damai,
Desa Lampisi, Desa Sungai Rotan, Desa Sungai Paur.
5.
Pemerintah segera memberikan Pengakuan Hak kepada Masyarakat Desa Cinta Damai,
Desa Lampisi, Desa Sungai Rotan, Desa Sungai Paur Lahan seluas 4200 Hektar
tersebut.
6.
Hentikan Intimidasi dan Kriminalisasi terhadap Petani, Buruh, Mahasiswa dan
Aktivis yang memperjuangkan Reforma Agraria.
7. Usut
tuntas Koperasi Tani Sawit Ketalu yang menyerobot lahan Petani Desa Cinta
Damai, Desa Lampisi, Desa Sungai Rotan, Desa Sungai Paur.
Tujuh
tuntutan diatas, menurut Dodi, sudah mereka sampaikan kepada pemerintah
melalui aksi damai bersama ribuan petani dan mahasiswa kemarin, Rabu (9/5)
siang di kantor gubernur jambi (P03)
Berita Selanjutnya :