-->

Iklan

Iklan

BERNOSTALGIA DENGAN BANJIR

NEWSPORTAL.ID
Jumat, 17 Maret 2017, Maret 17, 2017 WIB Last Updated 2017-11-07T14:37:17Z
Oleh: Bahren Nurdin, MA

Beberapa artikel saya tentang bencana banjir sudah banyak mengupas penyebab dan bahaya banjir. Artikel ini mencoba melihat beberapa hikmah banjir, sekali gus memberi semangat kepada masyarakat yang terkena dampak banjir untuk tidak terlalu berlarut-larut dalam kesedihan dan ketakutan. Ingat, pasti ada hikmah di balik semua kesulitan yang dihadapi. Waspada dan antisipasi perlu. Uluran tangan dan perhatian permerintah juga penting.

Izinkan saya bernostalgia dengan banjir di masa kecil. Saya lahir dan menghabiskan masa kanak-kanak  di dusun kecil bernama Dusun Sago, Desa Paseban, Kec. VII Koto Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi. Dusun itu tepat berada di pinggir daerah aliran Sungai Batang Hari. Seingat saya, bagi orang kampung kami banjir bukanlah bencana yang sebegitu menakutkan. Banjir hanyalah ‘tamu’ tahunan yang sudah dipersiapkan untuk disambut. Banjir hanya kehendak alam dan sebagai resiko bermukim di pinggir sungai.

Antisipasi banjir sudah terlihat dari bangunan rumah-rumah penduduk. Semua rumah panggung dengan ketinggian sesuai ‘kehendak’ banjir. Ketika banjir datang, tidak ada warga yang cemas berlebihan atau sibuk memindahkan barang-barang. Hebatnya lagi, kebutuhan sehari-hari selama banjir melanda sudah dipersiapakan jauh-jauh hari. Jadi, jika selama banjir mereka tidak bisa mencari nafkah, persediaan makanan sudah mencukupi.  Mereka kemudian menjalankan hidup dengan tenang setenang air yang ‘bertamu’.

Bagi saya dan anak-anak seusia lainnya, banjir berarti ‘kolam renang’ menghampiri. Main air sampai mata memerah, tangan dan kaki memutih. Tidak jarang, banjir disertai pula musim buah-buahan. Menemukan durian mengapung di bawah pohonnya adalah sesuatu yang menyenangkan. Memetik buah duku dari atas perahu juga hal yang mengasyikkan. Menyelam untuk mengambil buah mangga yang jatuh ke air adalah tantangan. Memancing dan menjala ikan tentu tak ketinggalan. Senyum.

Di kampung kami, banjir itu adalah cara Allah  mengantarkan ikan masuk ke danau-danau yang ada di dalam kampung. Ketika banjir datang, ikan-ikan berbondong-bondong ikut masuk, tapi ketika banjir berlalu ikan-ikan tersebut tidak ikut keluar. Danau-danau ini kemudian ditetapkan sebagai lubuk larangan. Sampai kemudian musim kemarau datang, danau-danau itu mengering dan ikan-ikan yang ada kemudian dipanen bersama. Kami menyebutnya ‘ngucau danau’. Tidak ada yang boleh ‘ngucau’ (panen) danau itu sampai ada keputusan dari orang adat atau kepala desa (local wisdom).

Bayangkan jika tidak ada banjir. Masyarakat di kampung saya pasti akan sangat sedih karena tidak ada ikan yang akan ‘dikucau’ pada musim kemarau. Inilah salah satu berkah banjir.

Berkah lainnya, ketika banjir berlalu, lumpur-lumpur yang ditinggalkan ternyata menjadi ‘pupuk’ yang menyuburkan tanaman. Di pinggir-pinggir Sungai Batang Hari itu, masyarakat kami kemudian menanam sayur-syuran yang hasilnya melimpah untuk dikonsumsi sendiri atau dijual ke pasar. Tidak hanya sayuran yang ditaman, tapi yang tumbuh liar seperti tumbuhan paku (pakis), rimbang, kincung, dan lain-lain juga mendatangkan berkah melimpah.

Itu dulu. Waktu saya baru bisa mengeja aksara. Mengapa banjir sekarang begitu menakutkan? Dulu, ketika ekosistem masih tertata ‘rapi’ (hutan masih lebat, PETI belum dikenal, perusahaan perkebunan belum menjajah), banjir masih bisa diprediksi. Bulan-bulan kedatangannya dapat diperkirakan untuk mempersiapkan diri. Sekarang, tidak bisa ditebak (unpredictable). Banjir datang dengan tiba-tiba, ganas dan memusnahkan apa saja. Salah sendiri!

Ini lebih aneh lagi, sudah tahu tinggal di pinggir sungai atau di dataran rendah, malah membangun rumah sejajar tanah, ya tenggelam. Terus, yang disalahin alam. “Mikir”, kata Cak Lontong.

Akhirnya, ternyata banjir tidak selalu berbicara bencana selagi arif menghadapinya. Ternyatanya lagi, orang-orang dahulu jauh lebih bijak menghadapi banjir dengan tanpa menyalahkan alam. Membangun rumah panggung adalah salah satu contoh kearifan lokal yang cerdas.  Rasanya, tidak salah pula kita belajar dari masa lalu untuk menghadapi masa depan. #BNODOC7517032017

*Akademisi dan Pengamat Sosial Jambi
Komentar

Tampilkan

Terkini