-->

Iklan

Iklan

Masih Banyak Suku Anak Dalam Belum Memiliki KK dan KTP, Ini Penyebabnya

NEWSPORTAL.ID
Kamis, 23 September 2021, September 23, 2021 WIB Last Updated 2021-09-23T02:32:43Z


Warga MHA SAD Kelompok Temenggung Ngadap saat merekam data kependudukan.

NEWSPORTAL.ID, Tebo - Meski pemerintah terus berupaya melakukan pendataan dan perekaman data kependudukan terhadap Suku Anak Dalam (SAD), namun masih banyak warga komunitas adat tersebut yang belum memiliki Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Kependudukan (KTP). 


Menti (Humas) MHA SAD Kelompok Temenggung Ngadap, Desa Tanah Garo, Kecamatan Muara Tabir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, Bagentar (Gentar) mengatakan, ada alasan tertentu yang membuat SAD enggan memiliki kartu indentitas kependudukan. Alasan yang sangat mendasar yakni, SAD takut kehilangan hukum adat mereka.


"Ada ketakutan pada SAD jika sudah memiliki KK dan KTP mereka harus patuh dan harus mengikuti hukum negara (positif). Itu salah satu alasan mengapa warga saya masih banyak yang tidak mau mengurus KK dan KTP," ungkap dia.


Dikatakan Gentar, meski sebagian SAD telah mengenal dunia luar, namun mereka patuh dan masih menerapkan hukum adat. Mereka juga masih menjalankan adat istiadat dan tradisi leluhur mereka.


Begitu juga dengan pola hidup, rata-rata SAD masih mengandalkan hidup dari berburu dan meramu. "Kalau hukum positif itu, ada beberapa hewan yang dilindungi dan tidak boleh diburu. Sementara, dari nenek moyang kami dahulu, hewan itu adalah sumber makanan bagi kami di hutan," kata Gentar.


Diakui Gentar, di MHA SAD kelompok dia, masih ratusan kepala keluarga yang belum memiliki data kependudukan. Sebagian dari mereka sudah mau didata dan dilakukan perekaman data. Namun kendalanya, mereka kesulitan untuk keluar karena jarak tempuh dari hutan tempat mereka tinggal sangat jauh, juga mereka tidak memiliki kendaraan untuk ke luar.


Terpisah, Ketua Yayasan Orang Rimbo Kito (ORIK), Ahmad Firdaus membenarkan jika masih banyak warga SAD belum memiliki KK dan KTP. Menurut dia, banyak alasan yang membuat warga SAD enggan mengurus data kependudukan. "Alasan yang mendasar karena banyak SAD yang belum bisa menulis dan membaca. Mereka juga tidak tahu cara berurusan di birokrasi," kata Firdaus.


Selain itu, Firdaus menjelaskan, ada beberapa aturan adat SAD yang membuat mereka enggan didata. Misalnya, kata dia mengisahkan, ia pernah mendata warga SAD Kelompok Temenggung Bujang Itam di Sungai Ibnul, Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabar), Provinsi Jambi. Saat itu salah seorang warga SAD sama sekali tidak mau menyebutkan nama istri dan anaknya. Alasannya karena melanggar adat.


Menurut pengetahuan Firdaus, nama istri dan nama-anak bagi SAD merupakan hal yang tabu untuk disebutkan kepada orang lain. Untuk bisa mengetahuinya, dia terpaksa menanyakan kepada warga SAD yang lain yang masih satu rombongan atau kelompok.


"Waktu kita tanya nama istrinya, dia menjawab Tidak Tahu, begitu juga waktu ditanya nama anak pertamanya, dijawab Tidak Tahu. Itu kita catat karena pikir kita nama istri dan anak pertamanya Tidak Tahu. Waktu ditanya lagi nama anak kedua, dia menjawab Tidak Tahu juga, begitu juga dengan anak ketiga dan keempat. Kita jadi penasaran, kok ada nama istri, anak pertama, kedua, ketiga dan keempat Tidak Tahu," cerita Firdaus.


Karena penasaran, lalu Firdaus mencari kebenaran atas nama istri dan anak-anak SAD tersebut. Dari Temenggung Bujang Itam dia mengetahui jika warga SAD tersebut tidak mau menyebutkan nama istri dan anaknya. "Jadi dari Temenggung lah kita bisa tahu nama istri dan anak-anak SAD itu," ungkap Firdaus.


Begitu juga dengan warga SAD Kelompok Temenggung Ngadap di Desa Tanah Garo, Kecamatan Muara Tabir, Kabupaten Tebo. Ditegaskan dia, ada beberapa rombongan (kelompok kecil) SAD di sana yang sama sekali tidak bisa didata. "Jangan didata, ditemukan saja tidak mau. Kalau kita ke sana, istri dan anak-anak disuruh sembunyi. Itu sudah adat istiadat dan tradisi mereka sejak dulu. Tidak boleh ketemu dengan orang terang (orang dari luar)," ujarnya.


Firdaus berkata, masih banyak lagi adat istiadat dan tradisi yang membuat SAD sulit didata. Hal itu yang membuat mereka tidak memiliki data kependudukan berupa KK dan KTP. "Mungkin kita sering dengar atau diingatkan, jangan basing-basing (sembarangan) mengambil foto (memfoto) SAD, salah-salah bisa melanggar aturan dan dikenakan sanksi adat. Aturan itu disebagian SAD masih berlaku," kata dia.


Meski begitu, lanjut Firdaus menjelaskan, ada juga SAD yang telah mengerti akan pentingnya data kependudukan. Biasanya SAD seperti itu sudah mengenal kehidupan luar (masyarakat di luar hutan). Mereka sudah mengerti pentingnya data kependudukan. Biasanya yang seperti ini paling gampang dilakukan pendataan. "Tinggal pemerintahnya (Disdukcapil) mau (sanggup) atau tidak mendata mereka," pungkasnya. (Bbe)

Komentar

Tampilkan

Terkini