Kala Pendidikan Dikapitalisasi, Terjadi Pencabutan Izin Perguruan Tinggi

Daftar Isi


Oleh: Isheriwati,Spdi (Komunitas literasi Islam Bungo)


Kemendikbudristek mencabut izin operasional 23 perguruan tinggi swasta yang bermasalah yang tersebar di berbagai daerah. Diktiristek Lukman mengatakan pencabutan ini merupakan tindak lanjut dari 52 pengaduan masyarakat. Pengaduan ini ditindak lanjuti dengan pemberian sanksi ringan, sedang, berat sampai pada pencabutan izin operasional," terang Lukman pada detikEdu, jumat(26/5/2023)


Lukman menjabarkan

Pencabutan izin ini karena perguruan tinggi tersebut tidak memenuhi ketentuan standar pendidikan tinggi, juga melaksanakan pembelajaran fiktif, praktik jual beli ijazah, penyimpangan pemberian beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), bahkan adanya perselisihan badan penyelenggara sehingga pembelajaran tidak kondusif.


Lantas,  bagaimana nasib mahasiswa dari perguruan tinggi yang dicabut izinnya tersebut? UPT Kemendikbudristek menyatakan akan membantu mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik terdampak untuk dipindahkan ke perguruan tinggi lain. (CNN Indonesia, 26-5-2023).


Ketika Kapitalisasi Pendidikan Itu Terjadi


Kasus pencabutan izin perguruan tinggi ini membuktikan bahwa praktik jual beli ijazah bukanlah sekadar isu ataupun isapan jempol. 


Praktik terlarang tersebut terbukti nyata adanya, bahkan bisa jadi ada banyak perguruan tinggi lain yang melakukannya.


Praktik jual beli ijazah ini membuktikan kentalnya kapitalisasi pendidikan di Indonesia. Ijazah yang seharusnya merupakan pengakuan resmi bahwa seseorang telah menyelesaikan pendidikan tertentu, ternyata diperjualbelikan. 


Asal ada uang, ijazah bisa diperoleh.

Jika biasanya mahasiswa S 1 membutuhkan waktu sekitar empat tahun untuk menyelesaikan pendidikan, dengan membeli ijazah, ijazah sudah ada di tangan cukup dalam waktu singkat. 


Tidak perlu melakukan perkuliahan selama berjam-jam, tidak perlu ujian, praktikum, membuat tugas dan laporan, menyusun skripsi, dan ujian sidang yang mengharuskan bergadang. 


Tidak perlu pula melakukan kuliah kerja nyata (KKN) atau praktik kerja lapangan (PKL). Semua proses melelahkan tersebut dilewati begitu saja, cukup dengan ongkang-ongkang kaki dan menyetorkan segepok uang, selembar ijazah sudah dimiliki dan menjadi bekal mencari pekerjaan.

Adanya praktik jual beli ijazah ini tentu terjadi karena adanya permintaan dan penawaran. 


Ada individu-individu yang bermental instan sehingga enggan melakukan proses pendidikan, tetapi menghendaki ijazah karena tuntutan pekerjaan. Di sisi lain, ada penawaran dari perusahaan tinggi swasta nakal yang ingin meraup cuan besar dalam waktu singkat.


Permintaan dan penawaran tersebut bertemu dan jadilah bisnis jual beli ijazah ini eksis di tengah masyarakat.


Kondisi ini terwujud di dalam sistem kapitalisme yang menuhankan materi. Keuntungan materi menjadi tujuan hidup manusia sehingga segala cara ditempuh demi memperolehnya. Tidak peduli halal atau haram. Agama tidak digunakan sebagai petunjuk, bahkan justru dimarginalkan.


Kini Tujuan Pendidikan Berubah Haluan


Kasus jual beli ijazah ini hendaknya menjadi bahan introspeksi semua pihak bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan di negeri ini. Kapitalisasi pendidikan telah terjadi dengan masif, salah satu akibatnya adalah praktik jual beli ijazah.


Namun, kapitalisasi pendidikan tidak hanya berdampak pada jual beli ijazah, melainkan juga pada makin mahalnya biaya pendidikan, bahkan di perguruan tinggi negeri sekalipun. Selain itu, hasil riset yang dilakukan perguruan tinggi juga diarahkan untuk kepentingan industri para kapitalis, bukan kemaslahatan umat.


Dengan demikian, kapitalisasi pendidikan juga telah mencederai tujuan pendidikan kita saat ini dan mengubahnya menjadi materialistis. Tujuan kuliah sekadar untuk mendapatkan pekerjaan dan sukses secara finansial, sedangkan tujuan luhur berupa mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan insan yang bertakwa hanya berhenti sebatas jargon. 


Pada akhirnya, kapitalisasi pendidikan menghasilkan lulusan berupa generasi yang serba boleh (permisif).


Jika kita selisik, praktik jual beli ijazah dan kuliah fiktif yang berujung pencabutan izin operasional itu terjadi pada perguruan tinggi swasta. Artinya, di sisi lain, perguruan tinggi yang dikelola dan diawasi secara langsung oleh negara idealnya bisa terhindar dari praktik ilegal tersebut.


Sayangnya, jumlah perguruan tinggi negeri yang disediakan oleh negara ternyata tidak mencukupi kebutuhan yang ada sehingga tugas ini diambil alih oleh perguruan tinggi swasta. Namun, karena orientasi materi (keuntungan) dalam pengelolaan perguruan tinggi swasta, terjadilah kapitalisasi pendidikan.


Pendidikan Tinggi dalam Sistem Islam


Sistem Islam akan terhindar dari hal itu, bahkan dari sisi tujuan saja sudah jauh berbeda. ada dua tujuan utama sistem pendidikan tinggi dalam Islam.


Pertama, memperdalam kepribadian Islam untuk menjadi pemimpin yang menjaga dan melayani problem vital umat, yakni Khilafah; memperjuangkan penegakannya ketika belum ada; melestarikan dan mempertahankannya sebagai institusi politik yang menerapkan Islam ke tengah umat, mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia, serta menghadapi ancaman persatuan umat.


Dengan demikian, profil sarjana yang dihasilkan adalah mujtahid, pemimpin, intelektual, hakim, dan ahli hukum (fukaha) yang akan memimpin umat untuk mengimplementasikan, memelihara, dan membawa Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.


Tujuan kedua adalah menghasilkan gugus tugas yang mampu melayani kepentingan vital umat dan membuat gambaran rencana strategis jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini berdasarkan firman Allah Taala, “Allah sekali-kali tidak memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang beriman.” (QS An-Nisa’ [4]: 141). (Nida Saadah, Strategi Pendidikan Tinggi di Era Khilafah dalam Menghasilkan Generasi Cemerlang).


Pendidikan tinggi dalam Khilafah pun akan terbebas dari praktik curang jual beli ijazah dan kuliah fiktif karena diselenggarakan secara gratis. Mahasiswa tidak perlu membayar satu dirham pun untuk bisa kuliah.


Lantas, dari mana dananya? Semua pembiayaan pendidikan dalam Khilafah, termasuk pendidikan tinggi, dibiayai dari baitulmal, yaitu dari pos fai dan kharaj, serta pos kepemilikan umum (milkiyyah ‘aammah). Bukan hanya kuliahnya yang gratis, berbagai riset pun dibiayai oleh negara.


Untuk mewujudkan pendidikan gratis ini, negara tidak sendirian. Banyak individu rakyat yang kaya turut mendukung pembiayaan pendidikan dengan memberikan wakaf. Hasilnya adalah output pendidikan tinggi yang cerdas bertakwa dan turut memberikan sumbangsih bagi peradaban Islam, baik dengan menjadi ulama, politisi, saintis, maupun yang lainnya. Jika kita serius mewujudkan sistem Islam, gambaran pendidikan tinggi yang luar biasa ini akan dapat terwujud. Wallahualam.

Posting Komentar