-->

Iklan

Iklan

Komisi Kejaksaan: Kewenangan Kejaksaan Menelusuri dan Mengelola Aset Rampasan Sudah Sesuai Tugas

NEWSPORTAL.ID
Selasa, 09 Mei 2023, Mei 09, 2023 WIB Last Updated 2023-05-09T06:37:20Z

 


NEWSPORTAL.ID — Kewenangan yang diberikan kepada Kejaksaan Agung untuk menelusuri dan nantinya mengelola aset pelaku tindak pidana korupsi dinilai Komisi Kejaksaan telah sesuai dengan tugas kejaksaan selama ini.


Terlebih, Kejagung dinilai telah berpengalaman mengelola aset dari kasus korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah.


Dalam Pasal 8 draf RUU Perampasan Aset disebutkan, penelusuran atas aset yang dapat dirampas dapat dilakukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan penyidik pegawai negeri sipil. 


Sementara Pasal 17 mengatur norma kewenangan Jaksa Agung untuk menerima aset tindak pidana yang telah disita oleh penyidik beserta dokumen pendukungnya.


Dilansir dari laman Kompas.id, Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak, Senin (8/5/2023), menilai, pemberian wewenang kepada Kejagung untuk mengelola aset tindak pidana yang telah disita penyidik sudah sejalan dengan tugas pokok kejaksaan selama ini, yakni wewenang penyidikan, penuntutan, sampai eksekusi. 


Kewenangan yang bersifat menyeluruh tersebut memungkinkan kejaksaan untuk melakukan penelusuran tentang asal mula aset hingga akhir, termasuk pelakunya.


Menurut Barita, tugas tersebut sejalan dengan tugas yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Pada Pasal 30A disebutkan bahwa kejaksaan berwenang melakukan kegiatan penelusuran, perampasan, dan pengembalian aset perolehan tindak pidana dan aset lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak.


Demikian pula instrumen untuk melaksanakan tugas pengelolaan aset juga sudah disiapkan. Lembaga Pusat Pemulihan Aset (PPA) yang selama ini hanya ada di tingkat pusat akan dikembangkan dan dipimpin pejabat eselon satu. 


”Karena perampasan aset itu tentang kepemilikan yang bisa jadi berpindah tangan karena itu penelusurannya jangan sampai terputus. Yang bisa menyambungkan tugas-tugas itu adalah kejaksaan,” kata Barita.


Di sisi lain, kata Barita, selama ini Kejagung telah memiliki pengalaman menangani kasus korupsi dengan kerugian negara triliunan rupiah, antara lain kasus Asuransi Jiwasraya, kasus Asabri, serta kasus PT Duta Palma Group. 


Di dalam kasus dengan kerugian keuangan negara triliunan rupiah tersebut, kejaksaan juga menyita dan merampas berbagai aset yang kemudian dikelola oleh Kejagung.


Padahal, penyitaan dan perampasan aset tersebut dilakukan Kejagung hanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini.


Jika nantinya RUU Perampasan Aset berlaku, bukan tidak mungkin Kejagung akan dapat menelusuri aset hasil tindak pidana yang disembunyikan berlapis-lapis.


”Kejaksaan ikut menginisiasi UU Perampasan Aset ini bisa cepat lahir karena untuk mengejar aset hasil kejahatan memerlukan instrumen hukum yang kuat. 


Aset di lapisan pertama dan kedua masih bisa ditembus tapi sulit kalau sudah berlapis-lapis. Maka, UU Perampasan Aset itu bisa menjadi senjata ampuh untuk menjangkaunya,” kata Barita.


Peneliti di Kemitraan, Refki Saputra, berpandangan, dalam RUU Perampasan Aset, peran kejaksaan cukup besar karena terlibat mulai dari awal penyidikan sampai pengelolaan aset. 


Yang harus diperhatikan adalah kapasitas kejaksaan untuk mengelola aset harus ditingkatkan, baik dari sisi anggaran maupun sumber daya manusia.


”Bagaimana jika di masa depan aset yang disita berupa perusahaan atau aset cryptocurrency? Tentu harus dipastikan agar aset tersebut dikelola sehingga nilainya tidak turun,” kata Refki.


Di sisi lain, Refki mengingatkan bahwa RUU Perampasan Aset mesti diletakkan sebagai terobosan terhadap situasi pemberantasan korupsi yang seolah tidak maju karena pelaku korupsi hanya dihukum ringan.


Untuk itu, dalam pembahasan RUU Perampasan Aset diharapkan disusun pula rencana besar kebijakannya karena RUU Perampasan Aset tidak hanya mengatur kejahatan korupsi, tetapi untuk kejahatan ekonomi yang menghasilkan aset, termasuk narkotika, penambangan ilegal, dan perambahan hutan ilegal.


Refki khawatir bahwa RUU Perampasan Aset hanya ditempatkan sebagai kewenangan yang ditempelkan ke institusi yang sudah ada sehingga nantinya hanya dianggap sebagai tugas biasa oleh institusi yang mendapat mandat melalui regulasi tersebut. 


”Kita perlu mendudukkan porsi aparat penegak hukum secara proporsional, termasuk diperkuat safeguard-nya (tindakan pengamanan),” kata Refki.


Secara terpisah, Deputi Bidang Protokoler, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin ketika dikonfirmasi membenarkan Presiden telah menandatangani surat presiden untuk RUU Perampasan Aset pada Jumat (5/5/2023). 


Pada hari yang sama, surat presiden tersebut dikirim dan diterima oleh Sekretariat DPR.


Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Johanis Tanak mengatakan, KPK berharap RUU Perampasan Aset segera dibahas di DPR bersama dengan pemerintah dan segera disetujui. 


Hal itu bertujuan agar pengembalian aset (asset recovery) dari pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan secara maksimal.


Selain itu, kata Tanak, diharapkan publik bisa mendapatkan informasi yang lebih baik terkait dengan rancangan undang-undang ini. Dengan cara itu, publik bisa memberikan masukan kepada DPR dan pemerintah agar ke depan RUU Perampasan Aset bisa diterapkan dengan baik. (***)


Sumber: Kompas.id


Komentar

Tampilkan

Terkini