Perusahaan PT Alam Bukit Tiga Puluh ABT Disegel Tim Satgas PKH, Aktivis Sebut Jangan Cuma Gertak Sambal
Salah satu yang angkat bicara adalah Ahmad Firdaus, Ketua Yayasan Orang Rimbo Kito (ORIK), yang selama ini dikenal konsisten memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan pelestarian hutan di Kabupaten Tebo.
Menurut Firdaus, tindakan Satgas PKH menyegel lahan PT ABT merupakan sinyal kuat bahwa perusahaan yang mengklaim bergerak di bidang restorasi ekosistem tidak steril dari pelanggaran.
"PT ABT itu semestinya jadi role model, bukan malah ikut-ikutan merusak. Ini jelas mencoreng semangat konservasi yang selama ini mereka gaungkan," ujarnya.
Firdaus menambahkan, publik tentu kecewa karena selama ini PT ABT membawa narasi besar tentang perlindungan satwa liar, kawasan hutan tropis, dan kerja sama dengan lembaga internasional.
Namun faktanya, menurut dia, pengawasan terhadap aktivitas lapangan perusahaan ini lemah, bahkan diduga melenceng dari komitmen awal.
“Kalau perusahaan restorasi saja bisa melanggar, bagaimana dengan yang tidak punya misi konservasi? Ini preseden buruk yang tidak bisa didiamkan,” tegasnya.
Ia juga menyinggung bahwa penyegelan ini bukan semata-mata bentuk peringatan biasa.
Menurutnya, langkah ini harus dilihat sebagai pintu masuk untuk menindaklanjuti proses hukum terhadap segala bentuk pelanggaran, baik administratif, perizinan, maupun kerusakan lingkungan.
Firdaus pun meminta aparat penegak hukum (APH) dan pemerintah daerah untuk tidak berhenti pada aksi penyegelan semata. Ia menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap izin dan aktivitas PT ABT di kawasan tersebut.
“Sanksi harus ada. Tidak cukup disegel lalu didiamkan. Ini tentang integritas dan penegakan hukum,” ucapnya.
Tak hanya PT ABT, Firdaus juga menyebutkan beberapa perusahaan lain yang turut disegel lahannya oleh Satgas PKH, yakni PT Lestari Asri Jaya (LAJ), PT Tebo Multi Agro (TMA), dan PT Wanamukti Wisesa (WMW).
Keempat perusahaan ini dinilai beroperasi di luar batas izin maupun memanfaatkan kawasan hutan secara ilegal.
“Kalau Satgas sudah segel, berarti ada indikasi pelanggaran. Tinggal bagaimana keseriusan negara dalam memprosesnya,” katanya lagi.
Firdaus pun mendorong agar langkah Satgas PKH ini dibarengi dengan transparansi data, agar publik bisa mengakses informasi secara jelas mengenai bentuk pelanggaran dan progres penyelesaiannya.
Ia menyoroti pentingnya partisipasi masyarakat sipil, termasuk organisasi lingkungan, dalam mengawal kasus ini agar tidak tenggelam begitu saja setelah sorotan media mereda.
“Bukan tidak mungkin ini hanya puncak gunung es. Siapa yang bisa jamin kalau di balik papan nama restorasi itu tak ada aktivitas yang merusak hutan secara sistematis?” cetus Firdaus.
Di sisi lain, ia menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap dampak kerusakan hutan yang terjadi, baik terhadap ekosistem, keberadaan satwa liar, maupun kehidupan masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari hutan.
Yayasan ORIK, menurut Firdaus, telah beberapa kali mengirimkan laporan kepada instansi terkait tentang indikasi pelanggaran oleh perusahaan-perusahaan di wilayah Tebo, termasuk kegiatan land clearing tanpa izin, pembangunan akses jalan, hingga eksploitasi kawasan lindung.
“Kami sudah lapor, tapi selama ini banyak yang tidak ditindaklanjuti. Sekarang sudah disegel, itu berarti sinyal yang kami suarakan selama ini ada dasarnya,” katanya dengan nada tinggi.
Firdaus mengungkapkan bahwa hutan bukan sekadar kawasan yang harus dihijaukan di atas kertas, tetapi ruang hidup bagi banyak makhluk, termasuk komunitas Suku Anak Dalam yang terdampak langsung dari pembabatan hutan.
“Jangan hanya ingat mereka saat Hari Lingkungan Hidup. Lindungi hak hidup mereka setiap hari. Dan itu butuh kebijakan yang adil dan berani terhadap korporasi,” katanya lagi.
Lebih jauh, dia berharap agar kejadian ini menjadi momentum evaluasi besar terhadap seluruh perusahaan pemegang izin di Tebo. Pemerintah daerah diminta untuk membentuk tim independen dalam meninjau ulang izin-izin yang terindikasi bermasalah.
Firdaus juga menyentil peran beberapa lembaga mitra perusahaan yang selama ini dianggap hanya ‘stempel’ legalitas semata. Ia mengimbau agar kerja sama konservasi benar-benar dijalankan secara substansial, bukan hanya sebagai pemanis dokumen dan laporan.
“Sekarang waktunya kita jujur. Mana yang benar-benar menjaga hutan, dan mana yang hanya menjual nama konservasi demi kepentingan bisnis,” pungkasnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT ABT maupun perusahaan lain yang disegel lahannya belum memberikan keterangan resmi. Sementara itu, Satgas PKH belum merinci lebih lanjut tentang bentuk pelanggaran dan proses selanjutnya pasca penyegelan.(fr)
Posting Komentar