-->

Iklan

Iklan

PT. REKI, Ketika Semangat HAM dan Restorasi Berbuah Tindak Pidana

Redaksi
Selasa, 30 Januari 2018, Januari 30, 2018 WIB Last Updated 2018-02-02T02:20:42Z
Sean Marron, Executive Head PT REKI di Lokasi Pembibitan (Dok JS)
NEWSPORTAL.IDPangkal kasus ini bermula dari temuan hasil ilegal logging oleh Tim Pengamanan PT REKI pada 10 April 2016 di sekitar lokasi PT AAS dengan barang bukti (BB) 278 potong kayu jenis bulian 5.1238 meter kubik.

Menurut dokumen laporan kegiatan evakuasi BB kayu illegal loging di lokasi PT AAS yang dikeluarkan oleh PT REKI, Kegiatan tersebut punya maksud dan tujuan ; mencegah dan melindungi hutan harapan dari perambahan, illegal logging dan perburuan liar serta kebakaran hutan. Agar hutan lestari dan masyarakat sejahtera.

Dengan dasar, Internal intruction PP Manager nomor : 835/Intruksi/Linhut-REKI/X/2016, Melaksanakan tugas pokok dan fungsi team perlindungan hutan.

Melibatkan 17 personil dan sarana prasarana PT REKI berupa 1 unit mobil triton, 1 unit mobil ford, 2 unit mobil dumtruk, 1 unit GPS, dan 1 unit kamera samsung,

BB selanjutnya dibawa ke camp 35 PT REKI dengan 2 unit dump truk PT REKI dan di masukkan kedalam barak dengan jumlah yang tidak lagi dilaporkan.

Disini dugaan tindakan pencurian BB mulai terbongkar yang dilakukan oknum ‘S’ selaku salah seorang senior di PT REKI.

AS, salah seorang saksi menerangkan bahwa dia melihat S yang dibantu GS sedang memuat BB kedalam mobil Damkar sekitar pukul 01.00 Malam.

Menurut keterangan GS, Ia diperintah oleh S (Senior di PT REKI) memuat kayu BB dari barak dan dijanjikan upah Rp200 ribu.

Singkat cerita, oknum S pun akhirnya mengaku mengangkut sejumlah BB kerumahnya di di Sungai Bahar melalui jalur SBH 15 untuk menghindari Pos PAM PT REKI dan PDS PAM BSU.

Ia juga mengaku bahwa kayu tersebut digunakan adiknya untuk membuat kunsen rumah dan pengakuan tersebut disampaikan langsung oleh S kepada tim PAM lainnya di kantor Linhut setempat.

“Karena tidak ada tindakan tegas dari internal PT REKI tim Linhut akhirnya melaporkan kepada saya pada tanggal 28 Mei 2017,” Kata Nazli, salah seorang Manager PT REKI (29/1) siang bersama dua orang pekerja REKI di Jambi.

“Setelah berdiskusi dengan tim dengan pertimbangan bahwa kasus ini adalah kejahatan tindak pidana dan kejahatan kehutanan, serta pelanggaran kode etik berat dalam tupoksi pengamanan hutan, maka kasus ini diputuskanlah untuk dilaporkan kepada pihak kepolisian pada tanggal 31 Mei 2017, dengan tanda bukti laporan nomor : STPL/H-129/V/2017/SPK, dan sampai saat ini masih dalam proses”ujarnya menambahkan.

Sebab, lanjut pria yang biasa disapa Desnad ini, ada beberapa dugaan pelanggaran di dalam kasus ini, Pertama tim pengamanan hutan PT REKI telah melanggar prosedur karena telah melakukan penyitaan dan penyimpanan BB hasil kejahatan kehutanan tanpa melibatkan aparat hukum yang berwenang sesuai UU RI nomor 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.

Kemudian, menggunakan kendaraan PT REKI untuk mengangkut kayu tanpa izin dan memerintahkan anggota pengamanan untuk mengangkut kayu pada tengah malam tanpa izin.

“Dampak yang ditimbulkan adalah, hilangnya rasa hormat dari anggota pengamanan lainnya karena tidak ada sanksi pada yang bersangkutan bahkan cenderung dilindungi. Dan hilangnya dedikasi dan ke kompakan tim karena rasa kecewa,” ujar pria 47 tahun ini memaparkan.

Namun, Desnad yang melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian justru mengaku mendapat perlakuan aneh dari PT REKI diantaranya tidak lagi diberikan gaji paska melaporkan kasus tersebut, Sehingga memaksa dirinya kembali membuat laporan baru ke polisi dengan pasal dugaan penggelapan gaji.

“Aneh, paska itu gaji saya bulan juni dan juli 2017 tidak dibayar oleh perusahaan tapi setelah itu ada mediasi dan ada kompensasi sebesar Rp26 juta dengan syarat agar saya mencabut laporan penggelapan gaji”ujarnya menjelaskan.

Pada bulan Desember kemarin, Menurut Desnad, Kasus ilegal logging ini kembali dibongkar dan pihak PT REKI diduga membebastugaskan dirinya tanpa hak dan belum membayar sejumlah gajinya.

PT REKI adalah sebuah perusahaan yang berkomitmen untuk merestorasi kawasan hutan agar ekosistemnya bisa kembali pulih.

Tidak tanggung-tanggung, Mereka dikabarkan mengelola dana ratusan milyar yang bersumber dari lembaga Internasional KfW Development Bank yakni sebuah bank pembangunan di Jerman. Dan DANIDA yaitu Danish International Development Agency – lembaga donor dari Denmark. 

Terpisah, Lembaga Pemantau Penyelamat Lingkungan Hidup (LP2LH) juga menimpali bahwa PT REKI tidak berhak menyita apalagi sampai menyimpan hasil perambahan hutan. 

“Kalau REKI sampai melakukan ini, siapa lagi yang bisa kita percaya. Ini bukti mereka hanya berkedok restorasi yang ternyata justru melakukan pembiaran perambahan kawasan hutan. PT REKI dapat dipidana atas perbuatannya,” ujar Tri Joko, Ketua DPP LP2LH kepada wartawan (29/1) malam.

Terkit kasus ini PT REKI enggan berkomentar banyak, Head of Stakeholder Patnership PT REKI, Adam Azis mengatakan bahwa kasus itu sudah ditangani pihak kepolisian dan tidak ditemukan cukup bukti untuk dilanjutkan ke proses hukum berikutnya. 

Karyawan Digaji di Bawah UMP

Ketua Serikat Pekerja PT REKI, Ahmad pada Senin (29/1) siang melaporkan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jambi. Mereka melaporkan bahwa 54 karyawan PT REKI masih bergaji di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2018. 

Laporan Ahmad diterima langsung Kamal Firdaus SE, Pengawas Kasi Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsos. Kamal berjanji akan segera menindaklanjuti laporan tersebut.

Seperti diketahui UMP 2018 Provinsi Jambi telah berlaku sejak 1 Januari 2018 sebesar Rp 2.243.000. Namun sampai kini, PT REKI masih membayar upah karyawannya menggunakan UMP Provinsi Jambi 2017 sebesar Rp 2.064.000. Ada selisih sekitar Rp 179 ribu.

Ahmad telah mencoba mengkomunikasikan hal ini kepada Purba Sasongko selaku HRD PT REKI. Namun jawabannya yang diterima tidak ada solusi.

“Kami tak punya uang untuk membayar upah sesuai dengan UMP 2018,” kata Ahmad menirukan jawaban Sasongko kepada detail, Senin (29/1/2018) siang. 

Sebagai perusahaan yang menggunakan dana publik dari donor dari Eropa yaitu Denmark dan Jerman serta mengelola dana lebih dari Rp 150 miliar pertahun, kata Ahmad, PT REKI berkomitmen untuk mengelola dana itu secara transparan dan memberi upah yang layak.

Menurut Ahmad, tidak memberi upah sesuai aturan, PT REKI telah melakukan pelanggaran pidana sesuai dengan pasal 90 ayat 2 dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2013.

Pada pasal 90 ayat (1) berbunyi: “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89”.

Selanjutnya, dalam pasal 185 ayat (1) berbunyi: “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ....termasuk pasal 90 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta.

Sebagai informasi, Membayar gaji karyawan di bawah UMP ternyata tergolong tindak pidana yang serius dan dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan.

Sebagai contoh, Direktur CV Perintis Talang Duku yang beroperasi di Kabupaten Muaro Jambi yaitu Subagio ditetapkan tersangka oleh penyidik Polda Jambi dalam kasus dugaan tindak pidana ketenagakerjaan pada November 2017.

Perusahaan yang bergerak di bidang minyak CPO ini sudah dilaporkan sejak Oktober 2016 karena membayar upah gaji karyawan di bawah standar UMP. Total karyawannya sebanyak 60 orang. 

Polda tidak hanya menetapkan Subagio sebagai tersangka namun juga menjemput paksa Subagio. Artinya, jika masih ada perusahaan yang menggaji karyawannya di bawah UMP mereka tergolong perusahaan yang nekad.

Kembali ke Desnad, “Sebagai penerima hibah dari Eropa PT REKI harusnya komit melakukan penegakan hukum dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun kenyataannya, mereka justru melanggar akan hal itu. Ironis sekali, bukan?”ujarnya mengakhiri (Tim)

Berita Selanjutnya : Dituding Melanggar HAM dan Tindak Pidana Begini Jawaban PT REKI
Komentar

Tampilkan

Terkini