-->

Iklan

Iklan

Penyelesaian Konflik Tenurial Mampu Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat

NEWSPORTAL.ID
Selasa, 27 November 2018, November 27, 2018 WIB Last Updated 2018-11-26T23:00:29Z

NEWSPORTAL.id,JAMBI - Seminar nasional yang berjudul; Pembelajaran dari tapak untuk penyelesaian konflik tenurial, Melestarikan Hutan dan Merawat Kehidupan, Hari ini (26/11) di gelar Yayasan Cappa - Keadilan Ekologi di Kota Jambi dengan menghadirkan 4 nara sumber yakni Iwan Nurdin dari Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Percepatan Penanganan Konflik.  Sigit Eko Yuwono, Kabid Penanganan Konflik Kesbangpol Provinsi Jambi. Arifadi Budiardjo dari PT Royal Lestari Utama - Barito Pacific dan Muhammad Zuhdi, Direktur Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi.

Seminar yang mendapat dukungan dari Kementrian Dalam Negeri ini bertujuan berbagi pengetahuan tentang penanganan konflik tenurial di sektor kehutanan dalam provinsi Jambi. Dihadiri 65 peserta dari unsur pemerintah pusat dan daerah, pihak perusahaan, LSM, Masyarakat dan dari kalangan media.

Di kesempatan ini, Yayasan Cappa selaku penyelenggara kegiatan mempunyai pandangan bahwa konflik tenurial merupakan bagian tidak terpisahkan dari tata kelola kehutanan. Penanganan konflik yang konstruktif akan berujung pada kesejahteraan sosial bagi masyarakat desa dan yang ada dipinggir hutan.

"Konflik tenurial terus menunjukkan trend menaik secara kuantitas dan dari dokumentasi yang dilakukan pada tahun 2017 telah terjadi 135 konflik di kawasan hutan." ungkap Rivani Noer, Ketua Badan Pengurus Yayasan Cappa dalam sambutannya.

Konflik tenurial ini lanjut Rivani, bukan sesuatu yang harus dijauhi tapi harus ditangani, diurai, diselesaikan, karena ketika semakin dijauhi maka akan menambah kompleks persoalannya.

Cappa sendiri sejauh ini telah mendampingi penyeleaian konflik tenurial antara masyarakat dengan pemegang konsesi, juga memfasilitasi akses masyarakat atas kawasan hutan melalui skema Perhutanan Sosial dengan luasan 18,711 hektar di kabupaten Sarolangun dan Batanghari.

"Penyelesaian konflik tenurial tidak hanya memberikan kepastian akses masyarakat atas kawasan hutan tapi juga berdampak pada peningkatan pendapatan di komunitas," tutupnya.

Agus Sriyanta, Dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi yang memberi sambutan sekaligus membuka seminar ini menyampaikan bahwa penyelesaian konflik tenurial itu penting dengan memfasilitasi para pihak dalam membangun kesepakatan.

“Tetapi yang juga penting adalah mendampingi dan mengawal paska kesepakatan agar obyek lahan kehutanan yang menjadi kesepakatan bisa dikelola dengan baik bukan malah menjadi sumber masalah baru” harapnya.

Iwan Nurdin, Dari KSP dalam kesempatan ini menyampaikan bahwa Tim Percepatan Penanganan Konflik Kantor Staf Presiden dibentuk untuk sinergisitas penyelesaian konflik agraria antara Kementerian dan Lembaga, juga agar penyelesaian konflik agraria selaras dengan agenda-agenda Reforma Agraria.

“Prinsip penyelesaian konflik agraria adalah untuk pemulihan hak korban, perlindungan warga negara, ralat atau koreksi atas kebijakan publik serta pencegahan konflik dimasa datang. Penyelesaian konflik agraria harus memperhatikan visi penyelesaian tersebut”, ujarnya.

Reforma Agraria disini, kata Iwan, juga akan melayani orang tidak bertanah serta orang yang bertanah sedikit.

“Karena kalau Reforma Agraria hanya memberikan sertifikat bagi masyarakat yang mempunyai tanah atau mempunyai tanah luas, maka Reforma Agraria justru akan mendorong ketidak-adilan agraria.”paparnya.

Sementara, Sigit Eko Yuwono dari Kesbangpol Provinsi Jambi menyampaikan bahwa sumber-sumber konflik di Jambi ada beberapa hal diantaranya konflik sumber daya alam, konflik ekonomi, konflik politik, konflik tapal batas wilayah administrasi dan konflik SARA (Suku Agama Ras Antar Golongan).

“Badan Kesbangpol Bidang Penanganan Konflik bertugas untuk Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik dan Pemulihan Konflik". jelasnya.

Menurutnya, Ada beberapa kasus SDA yang sedang ditangani seperti konflik masyarakat dengan salah satu konsesi Hutan Tanaman Industri di Provinsi Jambi.

"Yang penting adalah, penyelesaian konflik tenurial tidak bisa ditangani oleh pemerintah saja tapi harus didukung oleh semua pihak, Tanpa kerjasama semua pihak penyelesaian konflik bisa menjadi semacam impian saja.” terangnya.

Presentasi dari pemegang konsesi PT RLU dalam hal ini memaparkan pengalaman bagaimana menangani konflik tenurial secara partisipatif melibatkan para pihak.

Konflik di lokasi izin mereka PT menurutnya ada beberapa jenis yaitu, perambahan perladangan, perambahan perkebunan karet, perambahan perkebunan sawit, pemukiman dan fasilitas umum, jual beli lahan, illegal logging, konflik satwa serta situs budaya dan reclaiming.

“Tipologi aktor penguasaan lahan terbagi 3 yaitu petani kecil (kurang dari 10 hektar), spekulan (10 – 20 hektar, dan bisnis gelap (lebih dari 20 hektar)”, kata Arifadi.

Berdasarkan tipologi ini, sambungnya, pihaknya membangun opsi-opsi penyelesaian konflik tetapi dari semua opsi musyawarah merupakan hal yang utama untuk dilakukan.

Hingga sekarang ini, masih menurut Arifadi, sudah terbentuk Tim Resolusi Konflik yang anggotanya terdiri dari berbagai pihak yang diharapkan dapat menjadi tim independen dan keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama para pihak.

Didalam tim tersebut, turup Arif,  terdapat 3 Pokja yaitu Pokja Sosialisasi dan Inventarisasi, Pokja Mediasi dan Pokja Orang Rimba.

Muhammad Zuhdi, Direktur Yayasan Cappa-Keadilan Ekologi, selanjutnya menyampaikan pengalaman yang sudah mereka lakukan dalam menangani konflik tenurial di provinsi jambi.

“Dari studi yang kami lakukan di 2 lokasi, yaitu di Dusun Simpang Macam Luar dan di Dusun Kunangan Jaya1, Kabupaten Batanghari, kedua lokasi ini telah membangun kesepakatan kemitraan kehutanan dengan PT REKI, rata-rata pendapatan komunitas kemudian meningkat”, jelasnya.

Sebagai contoh, masyarakat yang dulu disaat konflik berpenghasilan Rp 230,000 perbulan setelah melakukan kesepakatan,  pendapatannya meningkat jadi Rp 400,000 perbulan, dan studi ini, lanjut Zuhdi, membagi komunitas dalam 4 kategori strategi ekonomi berbasiskan pendapatannya.

Intinya, Benang merah dari seminar ini adalah semua nara sumber dan peserta sepakat bahwa konflik tenurial harus diselesaikan dengan partisipasi aktif dari para pihak. Dukungan regulasi serta nomenklatur pemerintah harus di dukung oleh sumber daya yang cukup. (Red)
Komentar

Tampilkan

Terkini